Nopia merupakan sejenis kue
dengan bagian kulit yang kering dengan isian. Nopia mulai diproduksi pada tahun
1880 oleh etnik Tionghoa yang tinggal di Banyumas (Dharmawan, 2010). Nopia
memiliki ukuran yang cukup besar, hampir sebesar kepalan tangan. Mino merupakan
pengembangan produk nopia, nama mino merupakan kependekan dari mini nopia. Mino
berukuran mini/kecil sehingga dapat habis dalam sekali makan. Bentuk mino yang
bulat dan menyerupai telur penyu membuat mino sering disebut endog bulus. Gambar nopia dan mino :
Selain dari segi ukuran,
pengembangan produk lain dari nopia dan mino adalah cita rasa. Awalnya nopia
dan mino hanya memiliki rasa gula merah, saat ini terdapat berbagai pilihan
rasa antara lain brambang (bawang), nanas, kacang, durian, pandan, coklat, dan
nangka. Nopia dan mino dalam berbagai rasa:
Nopia
dan mino terdiri atas kulit dan isian. Kulit dibuat dengan cara mencampurkan tepung terigu dengan air lalu diaduk-aduk sampai
menjadi adonan. Adonan itu dijadikan bulatan kecil-kecil sebesar ibu jari
tangan. Bulatan dipipihkan dengan tangan, di tengahnya diisi gula yang sudah
dihancurkan, lalu dibulatkan lagi. Bulatan-bulatan tersebut kemudian dipanggang
menggunakan gentong. Bentuknya mirip mangkuk, diletakan di lantai dalam posisi
terbalik, bagian atasnya berlubang berlapis tanah dan sekelilingnya ditutup
anyaman bambu.
Pemanggangan nopia dan mino tergolong unik
karena sebelum digunakan kayu bakar dibakar di dalam gentong. Setelah apinya
mati, abu dan bara dikeluarkan. Nopia/mino mentah ditempelkan ke dinding bagian
dalam gentong yang panas (bersuhu sekitar 90oC). Nopia/mino
dipanggang hingga 30 menit kemudian diambil. Adonan nopia/ mino akan
mengembang, dan jika terlalu lama dipanggang adonan dapat meletus. Pemanggangan
adonan nopi/mino:
Sumber:
Anonimb.
Nopia dan Mino Narwan Banyumas.
Available on-line at: http://duniabanyumas.files.wordpress.com (diakses 1
September 2011).
Dharmawan,
L. 2010. Nopia, Getuk Goreng, dan Sejarah Kuliner Banyumas. Media Indonesia: 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar