Minggu, 08 Juli 2012

Cerita kami pencari satu kata yang menurut orang penting


Kami adalah segerombolan muda mudi usia tanggung. Tanggung karena tak lagi remaja tapi tak mau disebut tua. Ya, kami yang sudah mulai berkepala dua satu atau dua tahun lamanya..
Kamilah para pencari satu kata yang menurut orang penting: sarjana.

Pagi buta, masing-masing kami terjaga dari tempat tidur.
Mungkin separuh dari kami masih enggan beranjak, tapi yang lain dengan langkah gontai sekalipun mencoba bangkit, mencoba mencari peruntungan untuk mendapat posisi terdepan.
Perjuangan kami untuk menemui “penuntun sarjana” bagaikan para pendulang permata yang kadang beruntung menemukan kerlingan batu mulia tapi kadang mengeluh karena pulang hanya berpeluh. Kami berlomba untuk mendapat posisi terdepan karena kalau-kalau “penuntun sarjana” itu bersedia datang kami punya waktu yang cukup panjang untuk membereskan kertas-kertas penuh coretan.

Kemajuan teknologi bukan membuat kami semakin mudah, justru semakin sulit. Jika dulu orang tak bisa melakukan janji temu tak membuatnya kesal, sekarang tentu saja rasanya gatal. “Penuntun sarjana” kami meminta kami menunggu di lorong penantian. Menunggunya rehat dari segala kesibukan. Teknologi hanya menjadi uap.

Aku, kadang mendapat urutan terdepan, atau di tengah, jarang sekali dapat urutan belakang. Di antara selubung kabut pagi, kuda besiku menyusup membuatku menyeruput sebagian kabut. Di halaman, dingin tersisa di tangan. Langkahku menuju tangga ditemani sepi, di antara kepulan asap yang dibakar pejuang tangguh yang datang sejak pagi. Kutengokkan kepalaku ke lorong penantian di lantai dua, belum ada siapa-siapa. Kulongok benda berdetik di tangan, jarum belum genap menunjuk angka delapan. Kuseret kakiku menuju “pintu kebahagiaan”, tempat kami biasa menunggu.

Sendiri, aku bersandar pada dinding yang masih dingin. Duduk di atas lantai yang masih berkilap, tanpa alas. Menghitung tiap detik waktu hingga teman seperjuangan datang. Tak berapa lama, suara akrab terdengar menyapa, menyebut namaku dengan riang. Ia meletakkan tas dan memintaku menjaganya selagi ia ke belakang. Dingin kadang memang membuat kita tak henti ke kamar mandi bukan?

Matahari sepenggalahan naik, sebagian mengambil air suci, menengadahkan tangan dan berdoa agar “penuntun sarjana” hari ini datang, datang dengan keriangan, begitu kira-kira doa kami (setidaknya doaku). Semakin siang pejuang yang datang mulai membilang, satu, dua, tiga, hingga sepuluh, bahkan kadang hingga belasan.  Lalu kami menghitung waktu, apakah sekiranya kami akan diberi kesempatan atau pulang tanpa hasil dengan perut bergerumul angin? Biasanya jika jarum jam sudah menunjuk angka sebelas urutan lima sudah kehilangan asa, ia selalu ingin pulang tergesa.

Setiap derap langkah sepatu yang terdengar menaiki tanggaa kami jadikan sebagai pertanda. Semua muka menengok ke kiri, lalu menunduk atau berpaling ke kanan jika ternyata derap itu bukan yang diharapkan. Jika “penuntun sarjana” yang datang masing-masing kami mendongakkan muka. Memasang wajah penuh harap, berharap setidaknya hari ini ada satu langkah lagi menuju “kesarjanaan” yang kami kejar-kejar.

Kadang, “penuntun sarjana” kami riang, menyapa kami. Itu artinya kadang ia pun seperti kami, tak bergairah. Apalagi antrean yang sudah menjadi pemandangan lumrah. Urutan pertama selalu kikuk memotong pita. Pita “pintu kebahagiaan”. Tugasnya menyapa “penuntun sarjana” dan bertanya “Apa hari ini bisa?”. Sebetulnya hanya itu saja, tapi sungguh rasanya bisa membuat gelisah. Jika jawabannya ya, ia lalu masuk, menengok pada teman-temanya, dari matanya bisa terbaca kalimat “tolong doakan”. Kadang sepuluh, dua puluh, tiga puluh, kadang bahkan sampai enam puluh menit pejuang-pejuang pencari keajaiban itu ada di dalam. Pejuang di dalam menikmati intonasi tinggi rendah. Kadang keluar dengan senyum, tak jarang keluar dengan mata kosong, bingung memikirkan apa yang harus dilakukan.

Di luar, pejuang-pejuang mengobrol wara-wiri. Kadang berkeluh kesah, berbagi gelisah, atau menyematkan doa demi kesuksesan bersama. Bercerita berita beruntung si ini si itu, lalu menepuk bahu teman seperjuangan “Kita harus sabar, karena waktu itu pasti akan datang”. Ya, kami memang selalu berusaha menanami hati kami dengan bunga-bunga, segersang apapun di dalamnya. Lorong itu berubah menjadi lorong yang khidmat, karena masing-masing kami diam merenungi dan bertanya pada sendiri kapan waktu itu akan datang.

Belakangan, semilir kabar menceritakan “penuntun sarjana” kami juga sepat mata melihat kami yang kian hari kian panjang antreannya. Tapi tak pernah ada jembatan bagi kami untuk bercerita. Takut, perasaan itu membuat kami seringkali surut. Belum ada penyelesaian bagaimana cara “menyembunyikan” antrean.

Ya, begitulah kami. Pejuang yang menghitung waktu wisuda demi wisuda. Menunggu di lorong penantian. Mencecap dinginnya lantai dan dinding yang menyisakan angin bergerumul di perut. Doa kami tak banyak, kami meminta agar kami dan “penuntun sarjana” bisa selaras. Karena keselarasan itu menimbulkan keindahan bukan? Ya keindahan yang kami dan tentunya beliau idam-damkan. Terakhir terlamat permintaan : kawan, semangati kami untuk selalu berjuang, para pencari satu kata yang menurut orang penting:sarjana.

*didedikasikan untuk para pejuang yang selama ini duduk bersama di lorong penantian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar