Kamis, 26 Juli 2012

Repost: teruntuk pencinta Semeru

(Minggu, 3 Juli 2011)

Aku akan mendaki Semeru
kan kuteriakkan namamu dengan lantang
agar awan membingkainya
dan menurunkanmu dalam hujan di kala yang tepat

Kan kususuri tepian pantai
kularukan rinduku di sana
biar dibawa debur ombak yang suatu saat akan kembali
di kala yang tepat

penat

aku penat
ingin rasanya aku rehat
sejenak saja
tapi jika aku rehat
aku makin terlambat

tolong beri aku jalan

Aku : entah apa namanya

Tahun ini, tahun ke 6 kuucapkan selamat bertambah usia...
tapi tahun ke 5 rasa sayang itu singgah di hatiku.
bukan, bukan karena aku tak lagi menyayangimu saat ini, tapi di tahun pertama rasa itu belum lagi tersemai.
membicarakan ulang tahunmu ke 17 membuat kita tertawa renyah, kita sama-sama ingat betapa kikukknya aku bersalaman denganmu. dan kemudian hari itu menjadi awal sejarah bagi hubungan kita.
Mungkin benih itu sudah ada hingga akhirnya tersemai di penghujung juli.
Tahun-tahun kemudian setiap "peringatan" menjadi hal yang indah untuk kita.
dua tahun lalu, peringatan itu justru menjadi sakit bagimu karena cintaku berpaling muka, meski hanya sementara.
tapi tahun berikutnya dan tahun ini peringatan itu menjadi sakit bagiku karena kau tak lagi punya perasaan padaku, meski kita masih berteman.

Kau bukanlah orang yang suka peringatan ulang tahun, tapi aku selalu berkata ulang tahun adalah momentum untuk kita kembali memanaskan diri menggapai mimpi. Kau ingat kan pernah mengirimkan mimpimu padaku, begitu juga denganku. Mungkin kita sama-sama berpikir kita sama-sama memperjuangkan. tapi taukah kau? aku butuh kau untuk selalu mengingatkan bahwa aku memiliki mimpi yang harus kukejar.

di ulang tahunmu yang ke 22, dikala dunia menuntut kita untuk matang, aku berdoa agar mimpimu dapat kau capai. dan aku berharap aku bisa menjadi bagian dalam mimpi itu.
ketika mimpi pertamamu adalah khusnul khotimah, aku tersentak, aku bahkan tak pernah memikirkan itu. lalu akupun mengikutimu untuk bermimpi seperti itu. karena memang begitu seharusnya. Kau bilang, kau sangat ingin berjihad ke Palestina, andaikan itu jalanmu semoga itu yang membawamu ke surga-Nya.

Kau ingin menjadi hafidz, pun denganku. setidaknya untuk menjadi contoh anak-anak kita kelak. Seberapa besar kita sudah berusaha? Semoga kita bisa :)

menunaikan haji, menggenapkan rukun islam. sampai detik ini aku masih ingin datang ke rumah Allah bersamamu. Semoga keinginanmu dan aku tercapai.

Memberangkatkan orang tua untuk haji. Adalah sebuah pengabdian seorang anak pada orang tuanya. terlebih untukku karena orang tuaku belum menjejakkan kakinya di tanah suci. Semoga dikabulkan.

lalu impianmu adalah menjadi dokter yang tangguh, seperti apa yang kuimpikan. semoga doamu dan doaku tekabul.

Impianmu yang satu ini adalah impian kita di masa lalu, menikan di tahun 2013 dan 2014. Masih menjadi rahasia sampai memang sampai waktunya, Tapi sungguh, di dalam relung hatiku yang terdalam, aku ingin menjai bagian dari pernikahanmu. bukan, bukan menjadi penggembira tapi menjadi pendampingmu. Seperti mimpi yang kita rajut dahulu. Kau tahu, aku menyayangimu ;)

ah mimpimu banyak sekali dan sunguh sangat besar :)
Izinkan aku menunggumu turun dari Rinjani, Semeru, Kerinci, Carstensz Pyramid, Kilimanjaro, Elbruz, lalu menyambutmu dengan pelukan hangat. atau mungkin aku ikut bersamamu meniti setiap bebatuan dalam pendakian.

Lalu aku akan mendengarkan ceritamu selepas penyelaman di Raja Ampat, perairan Bangka, dan semua perairan yang indah menurutmu. Aku hanya bisa mendengar, karena aku tak bisa berenang.

Lalu, izinkan aku mendampingimu mengelilingi bumi Indonesia dan seluruh bentangan dunia.

Semoga doamu dikabulkan.
dan doa tumpanganku juga.
Selamat ulang tahun ke 22 untukmu seseorang yang masih saja bertengger di hatiku meski aku tau ka suka pada orang lain. Waktu bisa merubah segalanya. dan aku bisa memperjuangkan apa yang aku bisa.

Minggu, 15 Juli 2012

berbincang denganmu

Kemarin kita bertemu setelah 2 bulan tak bertatap muka, dan entah berapa bulan setelah hubungan kita sebagai pasangan berakhir.

Aku kebingungan tentang apa yang harus aku katakan atau lakukan. Tapi setelah bertemu denganmu, semua mengalir begitu saja, seperti saat kita merajut benang-benang cinta di waktu lalu. Kau masih punya candaan yang hebat membuatkan tak pernah berhenti tertawa. Kita masih bisa bercakap-cakap dan tertawa renyah. Ah sial, aku mulai berekspektasi. Harus punya seribu alasan untuk tidak menganggap kau mencintaiku.

Darimu aku tahu bahwa di usia kita, tak hanya kami kaum hawa yang galau asmara, kalian pun para adam sama saja. Sama-sama sedang memikirkan indahnya pernikahan. Menggelikan ternyata. Tapi artinya itu normal. Kita berbincang tentang pernikahan di 2/4 pertemuan, dan sisanya cerita lain. Sayangnya bukan pernikahan kita yang kita bicarakan. Tapi pernikahanku dengan seseorang dan kau dengan seseorang pula. 
(dalam benakku aku masih sangat ingin menikah denganmu, menyelaraskan mimpiku dengan mimpimu). 

Kita bicara tentang betapa bingungnya kita menyampaikan mimpi kita pada keluarga dan lebih suka berbincang berdua tentang ini. Sampai di tengah pembicaraan kau berkata "Istriku kelak harus siap kalau aku mati muda. Karena impianku adalah berjuang di Palestina.". Hatiku bergetar dan bertanya pada diriku sendiri, siapkah aku? Lalu aku menenangkan diri dan berkata "kau harus siap, karena jika memang iya kau menjadi istrinya kau akan mencecap harumnya surga". Aku jadi teringan post-it yang aku tempelkan di museum KAA. Kata pemandu di sana, silakan tulis keinginan dan tempel di negara yang diinginkan. Kau tahu? yang kupikirkan dirimu...dan inilah hasilnya
Aku menuliskan "Seseorang memliki mimpi pergi ke sini. dr.XXXXXXXXXX, semoga ia sampai,  lalu kutempelkan di Palestina. 
Kau bilang kau tidak pernah menutup segala kemungkinan. Lalu kupituskan untuk selalu tulus, tidak berekspektasi. 
Semoga yang terbaik terjadi untuk kita berdua :)

Minggu, 08 Juli 2012

Cerita kami pencari satu kata yang menurut orang penting


Kami adalah segerombolan muda mudi usia tanggung. Tanggung karena tak lagi remaja tapi tak mau disebut tua. Ya, kami yang sudah mulai berkepala dua satu atau dua tahun lamanya..
Kamilah para pencari satu kata yang menurut orang penting: sarjana.

Pagi buta, masing-masing kami terjaga dari tempat tidur.
Mungkin separuh dari kami masih enggan beranjak, tapi yang lain dengan langkah gontai sekalipun mencoba bangkit, mencoba mencari peruntungan untuk mendapat posisi terdepan.
Perjuangan kami untuk menemui “penuntun sarjana” bagaikan para pendulang permata yang kadang beruntung menemukan kerlingan batu mulia tapi kadang mengeluh karena pulang hanya berpeluh. Kami berlomba untuk mendapat posisi terdepan karena kalau-kalau “penuntun sarjana” itu bersedia datang kami punya waktu yang cukup panjang untuk membereskan kertas-kertas penuh coretan.

Kemajuan teknologi bukan membuat kami semakin mudah, justru semakin sulit. Jika dulu orang tak bisa melakukan janji temu tak membuatnya kesal, sekarang tentu saja rasanya gatal. “Penuntun sarjana” kami meminta kami menunggu di lorong penantian. Menunggunya rehat dari segala kesibukan. Teknologi hanya menjadi uap.

Aku, kadang mendapat urutan terdepan, atau di tengah, jarang sekali dapat urutan belakang. Di antara selubung kabut pagi, kuda besiku menyusup membuatku menyeruput sebagian kabut. Di halaman, dingin tersisa di tangan. Langkahku menuju tangga ditemani sepi, di antara kepulan asap yang dibakar pejuang tangguh yang datang sejak pagi. Kutengokkan kepalaku ke lorong penantian di lantai dua, belum ada siapa-siapa. Kulongok benda berdetik di tangan, jarum belum genap menunjuk angka delapan. Kuseret kakiku menuju “pintu kebahagiaan”, tempat kami biasa menunggu.

Sendiri, aku bersandar pada dinding yang masih dingin. Duduk di atas lantai yang masih berkilap, tanpa alas. Menghitung tiap detik waktu hingga teman seperjuangan datang. Tak berapa lama, suara akrab terdengar menyapa, menyebut namaku dengan riang. Ia meletakkan tas dan memintaku menjaganya selagi ia ke belakang. Dingin kadang memang membuat kita tak henti ke kamar mandi bukan?

Matahari sepenggalahan naik, sebagian mengambil air suci, menengadahkan tangan dan berdoa agar “penuntun sarjana” hari ini datang, datang dengan keriangan, begitu kira-kira doa kami (setidaknya doaku). Semakin siang pejuang yang datang mulai membilang, satu, dua, tiga, hingga sepuluh, bahkan kadang hingga belasan.  Lalu kami menghitung waktu, apakah sekiranya kami akan diberi kesempatan atau pulang tanpa hasil dengan perut bergerumul angin? Biasanya jika jarum jam sudah menunjuk angka sebelas urutan lima sudah kehilangan asa, ia selalu ingin pulang tergesa.

Setiap derap langkah sepatu yang terdengar menaiki tanggaa kami jadikan sebagai pertanda. Semua muka menengok ke kiri, lalu menunduk atau berpaling ke kanan jika ternyata derap itu bukan yang diharapkan. Jika “penuntun sarjana” yang datang masing-masing kami mendongakkan muka. Memasang wajah penuh harap, berharap setidaknya hari ini ada satu langkah lagi menuju “kesarjanaan” yang kami kejar-kejar.

Kadang, “penuntun sarjana” kami riang, menyapa kami. Itu artinya kadang ia pun seperti kami, tak bergairah. Apalagi antrean yang sudah menjadi pemandangan lumrah. Urutan pertama selalu kikuk memotong pita. Pita “pintu kebahagiaan”. Tugasnya menyapa “penuntun sarjana” dan bertanya “Apa hari ini bisa?”. Sebetulnya hanya itu saja, tapi sungguh rasanya bisa membuat gelisah. Jika jawabannya ya, ia lalu masuk, menengok pada teman-temanya, dari matanya bisa terbaca kalimat “tolong doakan”. Kadang sepuluh, dua puluh, tiga puluh, kadang bahkan sampai enam puluh menit pejuang-pejuang pencari keajaiban itu ada di dalam. Pejuang di dalam menikmati intonasi tinggi rendah. Kadang keluar dengan senyum, tak jarang keluar dengan mata kosong, bingung memikirkan apa yang harus dilakukan.

Di luar, pejuang-pejuang mengobrol wara-wiri. Kadang berkeluh kesah, berbagi gelisah, atau menyematkan doa demi kesuksesan bersama. Bercerita berita beruntung si ini si itu, lalu menepuk bahu teman seperjuangan “Kita harus sabar, karena waktu itu pasti akan datang”. Ya, kami memang selalu berusaha menanami hati kami dengan bunga-bunga, segersang apapun di dalamnya. Lorong itu berubah menjadi lorong yang khidmat, karena masing-masing kami diam merenungi dan bertanya pada sendiri kapan waktu itu akan datang.

Belakangan, semilir kabar menceritakan “penuntun sarjana” kami juga sepat mata melihat kami yang kian hari kian panjang antreannya. Tapi tak pernah ada jembatan bagi kami untuk bercerita. Takut, perasaan itu membuat kami seringkali surut. Belum ada penyelesaian bagaimana cara “menyembunyikan” antrean.

Ya, begitulah kami. Pejuang yang menghitung waktu wisuda demi wisuda. Menunggu di lorong penantian. Mencecap dinginnya lantai dan dinding yang menyisakan angin bergerumul di perut. Doa kami tak banyak, kami meminta agar kami dan “penuntun sarjana” bisa selaras. Karena keselarasan itu menimbulkan keindahan bukan? Ya keindahan yang kami dan tentunya beliau idam-damkan. Terakhir terlamat permintaan : kawan, semangati kami untuk selalu berjuang, para pencari satu kata yang menurut orang penting:sarjana.

*didedikasikan untuk para pejuang yang selama ini duduk bersama di lorong penantian.


Jatuh cinta padamu (lagi)

Orang-orang yang jatuh cinta terkadang terbelenggu oleh ilusi yang diciptakannya sendiri. Ia tak kuasa membedakan mana yang benar-benar nyata, mana yang hasil kreasinya yang sedang memendam rindu. Kejadian-kejadian kecil, cukup sudah untuk membuatnya senang. Merasa seolah-olah itu kabar baik. Padahal saat ia tahu kalau itu hanya bualan perasaannya, maka saat itulah hatinya akan hancur berkeping-keping. Patah hati! Menuduh seseorang itu mempermainkan dirinya. (Tere Liye).

dan seseorang itu adalah dia... ya dia.. dia yang memintaku melepaskan ikatan kami.. dia yang mencari ruang untuk bercerita.. dan pada akhirnya ruang itu adalah aku..

dan pilihannya membuatku membentu ilusi. ketidaknyataan. kreasi yang membumbung tinggi karena aku merajut rindu padanya.

mungkin kau mendengar "kicauanku" beberapa kali: Selalu seperti itu, seperti ada telepati antara kita
aahhh sepertinya itu ilusiku...
saat aku memikirkan dia,tapi mengurungkan niat untuk sekadar mengirim pesan singkat, pesannya yang datang lebih dulu. untuk hal-hal yang mungkin tak terlalu penting atau tak terduga.
"bagaimana perkembangan skripsimu?" atau "bisa beli pulsa?"
lalu kata-kata itu berubah menjadi percakapan, dengan kesepakatan yang kami : tidak ada pesan tentang perasaan. jadi segala bentuk rindu harus kutikam.

Aku selalu merasa semua itu telepati, ya telepati antara kami. Aku menganggap dia rindu padaku, tapi terlalu malu untuk berterus terang. Aku sendiri yang menciptakan cerita tentang perasaannya.
Kau tahu betapa riangnya aku saat menerima pesan singkat itu?
Andaikan ia melihat binar mataku dan simpul senyumku mungkin ia akan kembali jatuh cinta padaku (sial, aku kembali beilusi).

lalu ketika tiba-tiba ia pergi tanpa kabar, hati mulai risau memikirkan, desakan hati untuk bertanya semakin kuat : "kenapa kau mempermainkan aku?". Lalu dia berkata "aku tak pernah berniat mempermainkanmu."

Aaaah... aku jatuh cinta (lagi). berilusi. sejuta bualan perasaan. sadar. hancur berkeping-keping. tapi tetap aku jatuh cinta (lagi) padanya.

dan di sisi yang lain, ia jatuh cinta pada bidadarinya. Adakah ia juga berilusi sepertiku?