Kami adalah segerombolan muda mudi usia tanggung. Tanggung karena tak
lagi remaja tapi tak mau disebut tua. Ya, kami yang sudah mulai berkepala dua
satu atau dua tahun lamanya..
Kamilah para pencari satu kata yang menurut orang penting: sarjana.
Pagi buta, masing-masing kami terjaga dari tempat tidur.
Mungkin separuh dari kami masih enggan beranjak, tapi yang lain dengan
langkah gontai sekalipun mencoba bangkit, mencoba mencari peruntungan untuk
mendapat posisi terdepan.
Perjuangan kami untuk menemui “penuntun sarjana” bagaikan para
pendulang permata yang kadang beruntung menemukan kerlingan batu mulia tapi
kadang mengeluh karena pulang hanya berpeluh. Kami berlomba untuk mendapat
posisi terdepan karena kalau-kalau “penuntun sarjana” itu bersedia datang kami
punya waktu yang cukup panjang untuk membereskan kertas-kertas penuh coretan.
Kemajuan teknologi bukan membuat kami semakin mudah, justru semakin
sulit. Jika dulu orang tak bisa melakukan janji temu tak membuatnya kesal,
sekarang tentu saja rasanya gatal. “Penuntun sarjana” kami meminta kami
menunggu di lorong penantian. Menunggunya rehat dari segala kesibukan.
Teknologi hanya menjadi uap.
Aku, kadang mendapat urutan terdepan, atau di tengah, jarang sekali
dapat urutan belakang. Di antara selubung kabut pagi, kuda besiku menyusup
membuatku menyeruput sebagian kabut. Di halaman, dingin tersisa di tangan. Langkahku
menuju tangga ditemani sepi, di antara kepulan asap yang dibakar pejuang
tangguh yang datang sejak pagi. Kutengokkan kepalaku ke lorong penantian di
lantai dua, belum ada siapa-siapa. Kulongok benda berdetik di tangan, jarum
belum genap menunjuk angka delapan. Kuseret kakiku menuju “pintu kebahagiaan”,
tempat kami biasa menunggu.
Sendiri, aku bersandar pada dinding yang masih dingin. Duduk di atas
lantai yang masih berkilap, tanpa alas. Menghitung tiap detik waktu hingga
teman seperjuangan datang. Tak berapa lama, suara akrab terdengar menyapa,
menyebut namaku dengan riang. Ia meletakkan tas dan memintaku menjaganya selagi
ia ke belakang. Dingin kadang memang membuat kita tak henti ke kamar mandi
bukan?
Matahari sepenggalahan naik, sebagian mengambil air suci, menengadahkan
tangan dan berdoa agar “penuntun sarjana” hari ini datang, datang dengan
keriangan, begitu kira-kira doa kami (setidaknya doaku). Semakin siang pejuang
yang datang mulai membilang, satu, dua, tiga, hingga sepuluh, bahkan kadang
hingga belasan. Lalu kami menghitung
waktu, apakah sekiranya kami akan diberi kesempatan atau pulang tanpa hasil
dengan perut bergerumul angin? Biasanya jika jarum jam sudah menunjuk angka
sebelas urutan lima sudah kehilangan asa, ia selalu ingin pulang tergesa.
Setiap derap langkah sepatu yang terdengar menaiki tanggaa kami
jadikan sebagai pertanda. Semua muka menengok ke kiri, lalu menunduk atau
berpaling ke kanan jika ternyata derap itu bukan yang diharapkan. Jika “penuntun
sarjana” yang datang masing-masing kami mendongakkan muka. Memasang wajah penuh
harap, berharap setidaknya hari ini ada satu langkah lagi menuju “kesarjanaan”
yang kami kejar-kejar.
Kadang, “penuntun sarjana” kami riang, menyapa kami. Itu artinya
kadang ia pun seperti kami, tak bergairah. Apalagi antrean yang sudah menjadi
pemandangan lumrah. Urutan pertama selalu kikuk memotong pita. Pita “pintu
kebahagiaan”. Tugasnya menyapa “penuntun sarjana” dan bertanya “Apa hari ini
bisa?”. Sebetulnya hanya itu saja, tapi sungguh rasanya bisa membuat gelisah.
Jika jawabannya ya, ia lalu masuk, menengok pada teman-temanya, dari matanya
bisa terbaca kalimat “tolong doakan”. Kadang sepuluh, dua puluh, tiga puluh,
kadang bahkan sampai enam puluh menit pejuang-pejuang pencari keajaiban itu ada
di dalam. Pejuang di dalam menikmati intonasi tinggi rendah. Kadang keluar
dengan senyum, tak jarang keluar dengan mata kosong, bingung memikirkan apa
yang harus dilakukan.
Di luar, pejuang-pejuang mengobrol wara-wiri. Kadang berkeluh kesah,
berbagi gelisah, atau menyematkan doa demi kesuksesan bersama. Bercerita berita
beruntung si ini si itu, lalu menepuk bahu teman seperjuangan “Kita harus
sabar, karena waktu itu pasti akan datang”. Ya, kami memang selalu berusaha
menanami hati kami dengan bunga-bunga, segersang apapun di dalamnya. Lorong itu
berubah menjadi lorong yang khidmat, karena masing-masing kami diam merenungi
dan bertanya pada sendiri kapan waktu itu akan datang.
Belakangan, semilir kabar menceritakan “penuntun sarjana” kami juga
sepat mata melihat kami yang kian hari kian panjang antreannya. Tapi tak pernah
ada jembatan bagi kami untuk bercerita. Takut, perasaan itu membuat kami
seringkali surut. Belum ada penyelesaian bagaimana cara “menyembunyikan”
antrean.
Ya, begitulah kami. Pejuang yang menghitung waktu wisuda demi wisuda.
Menunggu di lorong penantian. Mencecap dinginnya lantai dan dinding yang
menyisakan angin bergerumul di perut. Doa kami tak banyak, kami meminta agar
kami dan “penuntun sarjana” bisa selaras. Karena keselarasan itu menimbulkan
keindahan bukan? Ya keindahan yang kami dan tentunya beliau idam-damkan.
Terakhir terlamat permintaan : kawan, semangati kami untuk selalu berjuang,
para pencari satu kata yang menurut orang penting:sarjana.
*didedikasikan untuk para pejuang yang selama ini duduk bersama di
lorong penantian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar