Aku kebingungan tentang apa yang harus aku katakan atau lakukan. Tapi setelah bertemu denganmu, semua mengalir begitu saja, seperti saat kita merajut benang-benang cinta di waktu lalu. Kau masih punya candaan yang hebat membuatkan tak pernah berhenti tertawa. Kita masih bisa bercakap-cakap dan tertawa renyah. Ah sial, aku mulai berekspektasi. Harus punya seribu alasan untuk tidak menganggap kau mencintaiku.
Darimu aku tahu bahwa di usia kita, tak hanya kami kaum hawa yang galau asmara, kalian pun para adam sama saja. Sama-sama sedang memikirkan indahnya pernikahan. Menggelikan ternyata. Tapi artinya itu normal. Kita berbincang tentang pernikahan di 2/4 pertemuan, dan sisanya cerita lain. Sayangnya bukan pernikahan kita yang kita bicarakan. Tapi pernikahanku dengan seseorang dan kau dengan seseorang pula.
(dalam benakku aku masih sangat ingin menikah denganmu, menyelaraskan mimpiku dengan mimpimu).
Kita bicara tentang betapa bingungnya kita menyampaikan mimpi kita pada keluarga dan lebih suka berbincang berdua tentang ini. Sampai di tengah pembicaraan kau berkata "Istriku kelak harus siap kalau aku mati muda. Karena impianku adalah berjuang di Palestina.". Hatiku bergetar dan bertanya pada diriku sendiri, siapkah aku? Lalu aku menenangkan diri dan berkata "kau harus siap, karena jika memang iya kau menjadi istrinya kau akan mencecap harumnya surga". Aku jadi teringan post-it yang aku tempelkan di museum KAA. Kata pemandu di sana, silakan tulis keinginan dan tempel di negara yang diinginkan. Kau tahu? yang kupikirkan dirimu...dan inilah hasilnya
Aku menuliskan "Seseorang memliki mimpi pergi ke sini. dr.XXXXXXXXXX, semoga ia sampai, lalu kutempelkan di Palestina.
Kau bilang kau tidak pernah menutup segala kemungkinan. Lalu kupituskan untuk selalu tulus, tidak berekspektasi.
Semoga yang terbaik terjadi untuk kita berdua :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar